Wednesday, February 27, 2013

Mahasiswa


 
Mahasiswa adalah sebagian kecil dari generasi muda yang dimiliki oleh suatu negara yang memiliki kesempatan mengasah kemampuan di perguruan tinggi. Sebagai kalangan yang memiliki kesempatan lebih untuk memangku pendidikan mahasiswa dituntut lebih cerdas. Cerdas di sini tidak terpaku pada kepintaran saja, namun mahasiswa pun perlu cerdas dalam bersikap seyogyanya sebagai kaum terdidik pada umumnya. Mahasiswa sebagai pelaku pendidikan memiliki aturan dan cara dalam bersikap dan bergaul dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi baik dengan teman, senior, dan dosen diperlukan suatu etika dan moral yang bersifat pasti dan berbeda dalam penerapannya sesuai dengan subjek yang berinteraksi dengan kita.
Mahasiswa sebagai generasi muda dalam Al-Qur’an pun telah dijelaskan dibeberapa surat dalam QS. Ath-Thur: 21, yaitu generasi
meneruskan nilai-nilai kebaikan yang ada pada suatu kaum. Disebut juga sebagai generasi pengganti (QS. Al-Maidah: 54), yaitu menggantikan kaum yang memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan dicintai Allah, lemah lembut kepada kaum mu’min, tegas pada kaum kafir dan tidak takut celaan orang yang mencela. Disebut pula sebagai generasi pembaharu (QS. Maryam: 42) yakni memperbaiki dan memperbaharui kerusakan yang ada pada suatu umat/bangsa. Memang besar tanggung jawab seorang pemuda, karena pemuda adalah sosok harapan yang bertugas sebagai khalifah di muka bumi.
Selama ini, universitas yang identik sebagai tempat kaum cendekiawan dan intelek senantiasa dipercaya oleh publik. universitas merupakan wadah pengembangan iptek dan menjadi tolak ukur tata perilaku dan etika. Maka, dalam kelangsungan perkuliahan di universitas, mahasiswa dihadapkan dengan peraturan dan tata tertib yang wajib ditaati baik berupa peraturan yang bersifat akademis maupun yang bersifat etika dan moral mahasiswa. Universitas tidak hanya sekadar mencetak pribadi yang pintar dan cerdas tetapi juga harus mengedepankan etika, moral, sopan santun dan profesional di bidangnya. Namun dewasa ini banyak mahasiswa yang tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Fenomena  yang merebak saat ini dikalangan mahasiswa yaitu, budaya ketidakjujuran mahasiswa. Fakta menunjukkan bahwa, budaya ketidakjujuran kian menggejala di kalangan mahasiswa. Ketidakjujuran ini meliputi menyontek ketika ujian atau pun menitip absen ketika tidak hadir perkuliahana.
Memang selama berada di perguruan tinggi atau dunia kampus, seorang mahasiswa akan merasakan suasana yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan suasana semasa duduk di bangku sekolah. Di dunia kampus, seorang mahasiswa akan merasakan sistem belajar mengajar yang berbeda dibandingkan dengan di bangku sekolah menengah, baik itu Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Mahasiswa cenderung bebas menjalankan aktivitasnya tanpa merasa terbebani seperti aturan sekolah yang sangat mengikat, aturan kampus lebih universal dan cenderung menjadikan mahasiswa individual dan mandiri tidak tergantung dosen. Hubungan dosen dengan mahasiswa sangat jauh berbeda dengan hubungan seorang guru dengan anak didiknya di sekolah. Dahulu ketika kita melakukan keterlambatan masuk sekolah, kita akan mendapatkan sanksi dari sekolah maupun dari guru pun ketika salah satu diantara anak didiknya tidak masuk sekolah, guru akan mencari anak didiknya tersebut. Sangat jauh berbeda dengan dunia kampus yang cenderung bebas. Mahasiswa memiliki waktu toleransi keterlambatan pun ketika tidak masuk itu adalah pilihan mahasiswa itu sendiri, dosen tidak ambil pusing dalam mengurus kehidupan pribadi mahasiswa tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena jumlah mahasiswa di suatu kampus memang sangat besar, tidak mungkin dosen bisa memperhatikan anak didikannya satu persatu. Namun ‘ketidakpedulian’ ini berimbas kepada keacuhan mahasiswa akan perkuliahan, mereka berpikir masuk atau pun tidaknya dirinya dosen tidak akan mengetahui hal tersebut sehingga muncullah kesempatan-kesempatan yang menyesatkan yakni menitip absen. Hal ini terpicu karena budaya kejujuran tidak dijunjung tinggi oleh mahasiswa. Padahal ketika dosen tidak mengetahui, Allah yang tidak tidur akan selalu melihatnya. “Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kalian menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS [2]: 115). Setiap saat wajah Pencipta kita hadir dalam seluruh episode kehidupan kita. Ketidka kita menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai perintah-Nya, bahkan melawan larangan-Nya. Tidak malukah kita? Ataukah kita berpikir Allah sedang mengantuk dan tertidur? Padahal, Allah menegaskan, “Allah, tidak ada ilah selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS [2]: 255).
Mahasiswa sebenarnya mempunyai peranan yang sangat vital dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai “agent of change” karena mahasiswa adalah orang-orang yang seharusnya berperan dalam membawa perubahan-perubahan yang berdampak positif dan membangun di dalam kehidupan bermasyarakat serta menanamkan nilai-nilai kehidupan yang membangun pada masyarakat. Namun, sangat disayangkan sekali, bahwa pada kenyataannya peranan mahasiswa sebagai “agent of change” itu tidak benar-benar teraplikasi dan tidak berdampak positif pada masa sekarang ini. Banyak mahasiswa yang justru menjadi pembawa efek negatif dalam kehidupan bermasyarakat sehingga membuat masyarakat justru menjadi resah. Namun, mereka menganggap bahwa hal itu sebagai sebuah hal yang wajar di zaman ini. Padahal, hal-hal tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Mahasiswa yang mengaku sebagai kaum intelektual pasti sangat benci terhadap yang namanya praktik korupsi, apalagi praktik korupsi terasa semakin merajalela di negara Indonesia ini dan sepertinya tidak ada penanganan yang serius terhadap kasus-kasus korupsi yang mencuat. Untuk menyampaikan aspirasinya, mahasiswa pasti akan turun ke lapangan untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut kasus-kasus korupsi yang ada diusut secara tuntas oleh pemerintah dan menangkap mafia-mafia kasus yang dibiarkan begitu saja tanpa ada proses hukum yang jelas. Namun, mahasiswa juga terkadang lupa bahwa di dunia kampus, sebenarnya dia ikut melakukan “praktik korupsi” itu sendiri. Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa menginginkan urusannya atau segala hal yang berhubungan dengan administrasi perkuliahannya berjalan lancar dan tidak ada hambatan, maka mahasiswa tersebut akan memberi sogokan kepada orang-orang tertentu ataupun dosen yang bersangkutan dengan mata kuliah yang diambilnya supaya diberikan kemudahan ataupun nilai yang bagus. Budaya menyontek dan titip absen juga bisa dikategorikan sebagai sebuah “praktik korupsi” yang dilakukan oleh mahasiswa di dunia kampus dan justru menganggap bahwa hal itu adalah sebuah hal yang wajar dan sudah mendarah daging dalam diri mahasiswa dan sudah menjadi turun temurun setiap tahunnya. Dengan melihat fakta-fakta tersebut di atas, akan sulit rasanya meletakkan harapan kepada mahasiswa-mahasiswa saat ini untuk benar-benar berperan sebagai agen pembaharu atau agen peubah yang benar-benar membawa perubahan positif dan berkontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, mahasiswa-mahasiswa yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Mereka yang akan menjadi calon pemimpin bangsa di masa mendatang untuk melanjutkan tongkat estafet reformasi di negara ini. Fungsi mahasiswa sebagai “agent of change” yang sebenarnya akan terwujud ketika mahasiswa tersebut bisa mengubah dirinya sendiri terlebih dahulu dan membuat perubahan dalam dirinya. Bahkan akar dari masalah korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia adalah murni dari faktor ketidakjujuran pada waktu menjadi mahasiswa.
Persoalan ketidakjujuran tersebut merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan dan perlu perhatian serius. Sebab, bagaimana mungkin institusi pendidikan, justru menjadi sarang korupsi. Ini jelas berbanding terbalik dengan hakekat pendidikan yang benar, yakni ingin menciptakan manusia yang berilmu dan bermoral. Dan apabila budaya ketidakjujuran mahasiswa seperti mencontek, titip absen, dll tidak segera diberantas, maka perguruan tinggi akan menjadi bagian dari ´pembibitan´ moral yang dekstruktif di Indonesia.
Budaya ketidakjujuran inilah sebenarnya yang harus diretas yaitu menumbuhkan karakter jujur dan itu membutuhkan proses waktu yang panjang dan tersistem. Kita mungkin bisa belajar dari sejarah para sahabat yang ketika mereka berbuat dosa, contohnya zina maka tidak harus dipaksa mengaku tapi dia sendiri yang datang melapor bahwa dia telah berzina. Rasulullah sampai tidak percaya dan bertanya berkali-kali untuk meyakinkan bahwa dia jujur. Bahkan ada sahabat yang hanya karena ketiduran tidak shalat Subuh, melapor kepada Rasulullah. Inilah kesadaran yang telah mendarah daging menjadi karakter. Penguatan ruhiyah mahasiswa dengan mengikuti kajian-kajian islam khususnya akhlak pun perlu diintensifkan. Pendidikan karakter dan integritas pun perlu ditingkatkan, walaupun mungkin tidak bisa dimasukkan dalam kurikulum namun dosen bisa memberikannya di sela-sela perkuliahan. Dan yang terpenting adalah budaya malu dalam berbuat salah baik malu pada diri sendiri, teman, dosen, dan yang pasti malu kepada Allah. Menanamkan budaya malu dan takut berbuat kecurangan adalah hal yang perlu dimiliki mahasiswa. Serta lebih mendekatkan diri kepada Allah. Bahwa setiap hal yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb kita. Dan surga neraka adalah balasannya. Semoga kita terhindar dari perbuatan ketidakjujuran ini, dan jika sudah melakukannya maka hendaklah kita bertobat dan berjanji tidak melakukan kesalahan itu lagi.



No comments:

Post a Comment