Mahasiswa adalah sebagian kecil dari generasi muda
yang dimiliki oleh suatu negara yang memiliki kesempatan mengasah kemampuan di
perguruan tinggi. Sebagai kalangan yang memiliki kesempatan lebih untuk
memangku pendidikan mahasiswa dituntut lebih cerdas. Cerdas di sini tidak
terpaku pada kepintaran saja, namun mahasiswa pun perlu cerdas dalam bersikap
seyogyanya sebagai kaum terdidik pada umumnya. Mahasiswa sebagai pelaku
pendidikan memiliki aturan dan cara dalam bersikap dan bergaul dengan
lingkungannya. Dalam berinteraksi baik dengan teman, senior, dan dosen
diperlukan suatu etika dan moral yang bersifat pasti dan berbeda dalam
penerapannya sesuai dengan subjek yang berinteraksi dengan kita.
Mahasiswa sebagai generasi muda dalam Al-Qur’an pun
telah dijelaskan dibeberapa surat dalam QS. Ath-Thur: 21, yaitu generasi
meneruskan nilai-nilai kebaikan yang ada pada suatu
kaum. Disebut juga sebagai generasi pengganti (QS. Al-Maidah: 54), yaitu
menggantikan kaum yang memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan
dicintai Allah, lemah lembut kepada kaum mu’min, tegas pada kaum kafir dan
tidak takut celaan orang yang mencela. Disebut pula sebagai generasi pembaharu
(QS. Maryam: 42) yakni memperbaiki dan memperbaharui kerusakan yang ada pada
suatu umat/bangsa. Memang besar tanggung jawab seorang pemuda, karena pemuda
adalah sosok harapan yang bertugas sebagai khalifah di muka bumi.
Selama ini, universitas yang identik sebagai tempat
kaum cendekiawan dan intelek senantiasa dipercaya oleh publik. universitas
merupakan wadah pengembangan iptek dan menjadi tolak ukur tata perilaku dan
etika. Maka, dalam kelangsungan perkuliahan di universitas, mahasiswa
dihadapkan dengan peraturan dan tata tertib yang wajib ditaati baik berupa
peraturan yang bersifat akademis maupun yang bersifat etika dan moral
mahasiswa. Universitas tidak hanya sekadar mencetak pribadi yang pintar dan
cerdas tetapi juga harus mengedepankan etika, moral, sopan santun dan
profesional di bidangnya. Namun dewasa ini banyak mahasiswa yang tidak lagi
menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Fenomena
yang merebak saat ini dikalangan mahasiswa yaitu, budaya ketidakjujuran
mahasiswa. Fakta menunjukkan bahwa, budaya ketidakjujuran kian menggejala di
kalangan mahasiswa. Ketidakjujuran ini meliputi menyontek ketika ujian atau pun
menitip absen ketika tidak hadir perkuliahana.
Memang selama berada di perguruan tinggi atau dunia kampus,
seorang mahasiswa akan merasakan suasana yang sangat berbeda jika dibandingkan
dengan suasana semasa duduk di bangku sekolah. Di dunia kampus, seorang
mahasiswa akan merasakan sistem belajar mengajar yang berbeda dibandingkan
dengan di bangku sekolah menengah, baik itu Sekolah Menengah Pertama (SMP)
ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Mahasiswa cenderung bebas menjalankan
aktivitasnya tanpa merasa terbebani seperti aturan sekolah yang sangat
mengikat, aturan kampus lebih universal dan cenderung menjadikan mahasiswa
individual dan mandiri tidak tergantung dosen. Hubungan dosen dengan mahasiswa
sangat jauh berbeda dengan hubungan seorang guru dengan anak didiknya di
sekolah. Dahulu ketika kita melakukan keterlambatan masuk sekolah, kita akan
mendapatkan sanksi dari sekolah maupun dari guru pun ketika salah satu diantara
anak didiknya tidak masuk sekolah, guru akan mencari anak didiknya tersebut.
Sangat jauh berbeda dengan dunia kampus yang cenderung bebas. Mahasiswa
memiliki waktu toleransi keterlambatan pun ketika tidak masuk itu adalah
pilihan mahasiswa itu sendiri, dosen tidak ambil pusing dalam mengurus
kehidupan pribadi mahasiswa tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena jumlah
mahasiswa di suatu kampus memang sangat besar, tidak mungkin dosen bisa
memperhatikan anak didikannya satu persatu. Namun ‘ketidakpedulian’ ini
berimbas kepada keacuhan mahasiswa akan perkuliahan, mereka berpikir masuk atau
pun tidaknya dirinya dosen tidak akan mengetahui hal tersebut sehingga
muncullah kesempatan-kesempatan yang menyesatkan yakni menitip absen. Hal ini
terpicu karena budaya kejujuran tidak dijunjung tinggi oleh mahasiswa. Padahal
ketika dosen tidak mengetahui, Allah yang tidak tidur akan selalu melihatnya. “Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun
kalian menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui.” (QS [2]: 115). Setiap saat wajah Pencipta kita hadir dalam
seluruh episode kehidupan kita. Ketidka kita menjalankan perbuatan-perbuatan
yang tidak sesuai perintah-Nya, bahkan melawan larangan-Nya. Tidak malukah
kita? Ataukah kita berpikir Allah sedang mengantuk dan tertidur? Padahal, Allah
menegaskan, “Allah, tidak ada ilah selain
Dia. Yang Mahahidup, yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk
dan tidak tidur.” (QS [2]: 255).
Mahasiswa
sebenarnya mempunyai peranan yang sangat vital dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting yaitu
sebagai “agent of change” karena mahasiswa adalah orang-orang yang
seharusnya berperan dalam membawa perubahan-perubahan yang berdampak positif
dan membangun di dalam kehidupan bermasyarakat serta menanamkan nilai-nilai
kehidupan yang membangun pada masyarakat. Namun, sangat disayangkan sekali,
bahwa pada kenyataannya peranan mahasiswa sebagai “agent of change” itu
tidak benar-benar teraplikasi dan tidak berdampak positif pada masa sekarang
ini. Banyak mahasiswa yang justru menjadi pembawa efek negatif dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga membuat masyarakat justru menjadi resah. Namun, mereka
menganggap bahwa hal itu sebagai sebuah hal yang wajar di zaman ini. Padahal,
hal-hal tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat.
Mahasiswa yang mengaku sebagai kaum intelektual pasti
sangat benci terhadap yang namanya praktik korupsi, apalagi praktik korupsi
terasa semakin merajalela di negara Indonesia ini dan sepertinya tidak ada
penanganan yang serius terhadap kasus-kasus korupsi yang mencuat. Untuk
menyampaikan aspirasinya, mahasiswa pasti akan turun ke lapangan untuk
melakukan aksi demonstrasi menuntut kasus-kasus korupsi yang ada diusut secara
tuntas oleh pemerintah dan menangkap mafia-mafia kasus yang dibiarkan begitu
saja tanpa ada proses hukum yang jelas. Namun, mahasiswa juga terkadang lupa
bahwa di dunia kampus, sebenarnya dia ikut melakukan “praktik korupsi” itu
sendiri. Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa menginginkan urusannya atau
segala hal yang berhubungan dengan administrasi perkuliahannya berjalan lancar
dan tidak ada hambatan, maka mahasiswa tersebut akan memberi sogokan kepada
orang-orang tertentu ataupun dosen yang bersangkutan dengan mata kuliah yang
diambilnya supaya diberikan kemudahan ataupun nilai yang bagus. Budaya
menyontek dan titip absen juga bisa dikategorikan sebagai sebuah “praktik
korupsi” yang dilakukan oleh mahasiswa di dunia kampus dan justru menganggap
bahwa hal itu adalah sebuah hal yang wajar dan sudah mendarah daging dalam diri
mahasiswa dan sudah menjadi turun temurun setiap tahunnya. Dengan melihat
fakta-fakta tersebut di atas, akan sulit rasanya meletakkan harapan kepada
mahasiswa-mahasiswa saat ini untuk benar-benar berperan sebagai agen pembaharu
atau agen peubah yang benar-benar membawa perubahan positif dan berkontribusi
positif dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, mahasiswa-mahasiswa yang
nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Mereka
yang akan menjadi calon pemimpin bangsa di masa mendatang untuk melanjutkan
tongkat estafet reformasi di negara ini. Fungsi mahasiswa sebagai “agent of
change” yang sebenarnya akan terwujud ketika mahasiswa tersebut bisa
mengubah dirinya sendiri terlebih dahulu dan membuat perubahan dalam dirinya.
Bahkan akar dari masalah korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia adalah
murni dari faktor ketidakjujuran pada waktu menjadi mahasiswa.
Persoalan
ketidakjujuran tersebut merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan dan perlu
perhatian serius. Sebab, bagaimana mungkin institusi pendidikan, justru menjadi
sarang korupsi. Ini jelas berbanding terbalik dengan hakekat pendidikan yang
benar, yakni ingin menciptakan manusia yang berilmu dan bermoral. Dan apabila
budaya ketidakjujuran mahasiswa seperti mencontek, titip absen, dll tidak
segera diberantas, maka perguruan tinggi akan menjadi bagian dari ´pembibitan´
moral yang dekstruktif di Indonesia.
Budaya
ketidakjujuran inilah sebenarnya yang harus diretas yaitu menumbuhkan karakter
jujur dan itu membutuhkan proses waktu yang panjang dan tersistem. Kita mungkin
bisa belajar dari sejarah para sahabat yang ketika mereka berbuat dosa,
contohnya zina maka tidak harus dipaksa mengaku tapi dia sendiri yang datang
melapor bahwa dia telah berzina. Rasulullah sampai tidak percaya dan bertanya
berkali-kali untuk meyakinkan bahwa dia jujur. Bahkan ada sahabat yang hanya
karena ketiduran tidak shalat Subuh, melapor kepada Rasulullah. Inilah
kesadaran yang telah mendarah daging menjadi karakter. Penguatan ruhiyah
mahasiswa dengan mengikuti kajian-kajian islam khususnya akhlak pun perlu
diintensifkan. Pendidikan karakter dan integritas pun perlu ditingkatkan,
walaupun mungkin tidak bisa dimasukkan dalam kurikulum namun dosen bisa
memberikannya di sela-sela perkuliahan. Dan yang terpenting adalah budaya malu
dalam berbuat salah baik malu pada diri sendiri, teman, dosen, dan yang pasti
malu kepada Allah. Menanamkan budaya malu dan takut berbuat kecurangan adalah
hal yang perlu dimiliki mahasiswa. Serta lebih mendekatkan diri kepada Allah. Bahwa
setiap hal yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan
Rabb kita. Dan surga neraka adalah balasannya. Semoga kita terhindar dari
perbuatan ketidakjujuran ini, dan jika sudah melakukannya maka hendaklah kita
bertobat dan berjanji tidak melakukan kesalahan itu lagi.
No comments:
Post a Comment